Semua orang tahu mereka akan mati, katanya lagi, tetapi tidak ada yang percaya. Jika kami melakukannya, kami akan melakukan sesuatu secara berbeda. Jadi kita bercanda tentang kematian, kataku. Ya. Tapi ada pendekatan yang lebih baik. Untuk mengetahui Anda akan mati, dan siap untuk itu kapan saja. Itu lebih baik. Dengan begitu Anda sebenarnya bisa lebih terlibat dalam hidup Anda saat Anda hidup. Bagaimana Anda bisa siap mati? Lakukan apa yang dilakukan umat Buddha. Setiap hari, punya burung kecil di bahu Anda yang bertanya, 'Apakah hari ini hari ini? Apakah saya siap? Apakah saya melakukan semua yang perlu saya lakukan? Apakah saya menjadi orang yang saya inginkan? '
(Everyone knows they're going to die, he said again, but nobody believes it. If we did, we would do things differently. So we kid ourselves about death, I said. Yes. But there's a better approach. To know you're going to die, and to be prepared for it at any time. That's better. That way you can actually be more involved in your life while you're living. How can you ever be prepared to die? Do what the Buddhists do. Every day, have a little bird on your shoulder that asks, 'Is today the day? Am I ready? Am I doing all I need to do? Am I being the person I want to be?')
Dalam percakapan, pentingnya mengakui kematian kita disorot. Pembicara mencatat bahwa meskipun semua orang sadar akan kematian, sedikit yang benar -benar menerima yang tak terhindarkan. Penolakan ini sering mencegah orang menjalani hidup mereka sepenuhnya. Alih -alih hidup dalam penolakan, idenya adalah merangkul realitas kematian, yang dapat menyebabkan keberadaan yang lebih bermakna. Ketika orang menyadari bahwa hidup itu terbatas, mereka didorong untuk hidup secara otentik dan lebih terlibat dalam kegiatan sehari -hari mereka.
...