Dalam Philip K. Dick "The Man in the High Castle," percakapan pedih terungkap antara Mr. Baynes dan Jenderal Tedeki. Jenderal Tedeki mencatat kesedihan mendalam seorang pria yang dipengaruhi oleh ajaran Buddha, menunjukkan bahwa latar belakang budayanya mencegahnya untuk berdamai dengan implikasi moral dari tindakannya. Penekanan pada penilaian semua kehidupan menyoroti perjuangan yang dihadapi pria ini untuk berdamai dengan keputusasaannya.
Ketika diskusi berlanjut, Tedeki menyatakan keyakinan bahwa pria itu pada akhirnya akan mendapatkan kembali keseimbangannya. Dia menunjukkan bahwa buku tersebut akan berfungsi sebagai alat penting untuk introspeksi, memberikan perspektif eksternal yang akan membantu dalam memahami perasaan dan tindakannya. Pertukaran ini menggarisbawahi dampak nilai -nilai budaya pada krisis pribadi dan pentingnya literatur dalam menavigasi lanskap emosional yang kompleks.