Begitu banyak hal yang menguji imannya. Ada Alkitab, tentu saja, tetapi Alkitab adalah sebuah buku, dan begitu pula House, Treasure Island, Ethan Frome dan The Last of the Mohicans. Apakah itu tampaknya mungkin, karena dia pernah mendengar Dunbar bertanya, bahwa jawaban atas teka -teki penciptaan akan dipasok oleh orang -orang yang terlalu bodoh untuk memahami mekanisme curah hujan? Apakah dewa yang maha kuasa, dalam semua kebijaksanaannya yang tak terbatas, benar -benar takut bahwa manusia enam ribu tahun yang lalu akan berhasil membangun menara ke surga?
(So many things were testing his faith. There was the Bible, of course, but the Bible was a book, and so were Bleak House, Treasure Island, Ethan Frome and The Last of the Mohicans. Did it then seem probable, as he had once overheard Dunbar ask, that the answers to riddles of creation would be supplied by people too ignorant to understand the mechanics of rainfall? Had Almighty God, in all His infinite wisdom, really been afraid that men six thousand years ago would succeed in building a tower to heaven?)
Dalam kutipan ini dari "Catch-22," karakter bergulat dengan keraguan mendalam tentang iman ketika ia merenungkan berbagai karya sastra. Meskipun Alkitab berfungsi sebagai pemandu spiritual, ia mempertanyakan apakah ajarannya benar -benar dapat memberikan jawaban atas misteri kehidupan, terutama jika dibandingkan dengan klasik lain seperti "Bleak House" dan "Treasure Island." Perbandingan ini menimbulkan keraguan eksistensial tentang validitas konsep agama yang mendalam ketika dihadapkan dengan kesederhanaan atau ketidaktahuan pemahaman manusia.
Perikop ini juga menyoroti skeptisisme karakter tentang kebijaksanaan ilahi. Dia mempertanyakan gagasan bahwa Tuhan dapat khawatir tentang ambisi manusia, seperti pembangunan menara yang mencapai surga. Ironi ini menunjukkan konflik antara aspirasi manusia dan narasi keagamaan, yang mengarah pada perenungan yang lebih besar dari relevansi iman dalam memahami kompleksitas keberadaan dan dunia alami.