Dan hasilnya begini: Saat aku benar-benar memahami musuhku, memahaminya dengan cukup baik untuk mengalahkannya, maka pada saat itu juga aku juga mencintainya. Saya pikir mustahil untuk benar-benar memahami seseorang, apa yang mereka inginkan, apa yang mereka yakini, dan tidak mencintai mereka sebagaimana mereka mencintai diri mereka sendiri. Dan kemudian, pada saat aku mencintai mereka--Kau mengalahkan mereka. Untuk sesaat dia tidak takut dengan pengertiannya. Tidak, kamu tidak mengerti. Saya menghancurkan mereka. Aku membuat mustahil bagi mereka untuk menyakitiku lagi. Saya menggilingnya dan menggilingnya sampai tidak ada lagi.
(And it came down to this: In the moment when I truly understand my enemy, understand him well enough to defeat him, then in that very moment I also love him. I think it's impossible to really understand somebody, what they want, what they believe, and not love them the way they love themselves. And then, in the very moment when I love them--You beat them. For a moment she was not afraid of his understanding.No, you don't understand. I destroy them. I make it impossible for them to ever hurt me again. I grind them and grind them until they don't exist.)
Kutipan tersebut mencerminkan kompleksitas mendalam dalam memahami musuh seseorang, menunjukkan bahwa pemahaman sejati terhadap keinginan dan keyakinan orang lain menumbuhkan rasa cinta terhadap mereka. Pembicara menyiratkan bahwa pemahaman yang mendalam ini secara bersamaan dapat membawa pada kemenangan atas musuh, karena memungkinkan seseorang untuk mengantisipasi dan mengatasi manuver mereka secara efektif. Dualitas ini menyoroti bagaimana hubungan dapat muncul bahkan dalam konflik.
Pembicara juga mengungkapkan aspek yang lebih gelap dari pemahaman ini, mengungkapkan keinginan untuk memberantas musuh-musuh tersebut sepenuhnya. Ketakutan dan konflik berubah menjadi ambisi yang kejam untuk memastikan bahwa hal-hal tersebut tidak akan menimbulkan kerugian lagi. Ambivalensi ini menunjukkan ketegangan antara empati dan naluri untuk melindungi diri dari ancaman yang dirasakan, yang pada akhirnya mengungkap garis tipis antara cinta dan kehancuran.